MEREKA YANG BERHATI BAJA

"Apa yang akan dilakukan oleh musuh-musuhku terhadapku? Aku, surga dan dan kebunku dalam dadaku. Kemana pun aku pergi, ia selalu bersamaku. Jika aku dipenjara, maka ia bagiku khalwat (bersendirian dengan Allah). Jika aku terbunuh, maka ia bagiku kesyahidan. Jika aku diusir dari negeriku, maka bagiku ia adalah wisata." Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah

Sejarah umat memang selalu menuliskan peristiwanya dengan tinta emas. Terbayang begitu indah meskipun harus berdarah-darah dan tidak jarang penuh keringat dan teriring tangis. Kisahnya begitu menggoda untuk diulang sedang kita sebagai pelakunya.



Tersebutlah seorang sahabat yang syahid di tiang salib. Namanya Khubaib bin Adiy radliyallahu ‘anhu. Sebelum kesyahidannya di tiang salib, seorang kafir Quraisy mengujinya dengan sebuah pertanyaan seraya berkata, “ Maukah kamu bila Muhammad menggantikanmu sementara kamu hidup sejahtera dengan keluargamu?”, Tak  disangka, jawaban Khubaib bin Adiy ternyata bagaikan petir bagi si kafir, jawabannya kemudian seperti membuka pintu langit bagi dirinya dan seolah memaksa langit-bumi dan seisi menjadi saksinya, “Demi Allah, Tak sudi aku bersama anak istriku selamat dengan kesenangan dunia, sementara Rasulullah terkena musibah meski oleh sepotong duri.

Tersebutlah Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Umatpun sepakat dengan menggelarinya dengan sebutan “Imam Ahluss Sunnah wal Jama’ah”. Kehidupannya lebih sering ia lewati dari balik jeruji penjara, melawati tiga rezim penguasa, gegara sikapnya menentang “khalqul Qur’an  paham penguasa yang terpengaruh paham Mu’tazilah. Imam Ahmad memang berhati baja, Ia lebih memilih menjaga aqidah umat Nabinya ketimbang memberikan celah toleransi bagi paham bathil lagi merusak.

Tersebutlah si Singa Padang Pasir di pergolakan Libya pasca keruntuhan Ottoman, Umar Mukhtar rahimahullah. Jihad dan perjuangannya membuat penjajah Italia dengan Mussolini-nya kewalahan juga kerepotan. Singkat cerita, Ia pun tertangkap di luar tanah Libya. Di akhir persidangan, Hakim membujuknya untuk memerintahkan para pengikutnya menghentikan jihad mereka. Tapi Umar Mukhtar adalah singa, Ia menjawab dengan berkata “Sesungguhnya, jari telunjuk yang setiap hari mengacung tasyahud La Ilaha Illallah dalam sholat, tidak akan pernah menuliskan kalimat kebatilan”.

Terakhir tersebutlah seorang ahli adab bahasa Arab, Sayyid Quthb namanya, rahimahullah. Jika saja didalami riwayat hidupnya, dengan hati terbuka untuk bisa menerima sekecil apapun kebenaran dari orang beriman, pasti akan sulit didapati orang yang ikhlas hatinya, jernih pemikiran dan murni perjuangan serta kuat pijakan kakinya selain dia. Pemikirannya tentang “Kafir Hakimiyah” seperti menjadi lentera di tengah padang yang gelap karena umat yang kehilangan arah pasca keruntuhan Kesultanan Ottoman. Tapi akhir seorang beriman yang memegang kebenaran memang selalu sama, jalan yang sama juga dilalui para Nabi dan Rasul-Nya. Quthb pun harus meninggalkan kehidupan dunianya dengan tiang gantungan rezim Mesir Gamal Abdun Naseer. Sesaat sebelum digantung ia pun dibujuk untuk meminta maaf kepada penguasa kemudian diringankan hukumannya, tapi orang yang pijakannya kuat ini pun berkata, “Jari telunjuk yang setiap hari memberi kesaksian tauhid kepada Allah saat shalat menolak menulis satu kata pengakuan untuk penguasa tiran. Jika saya dipenjara karena kebenaran, saya rela dengan hukum kebenaran. Jika saya dipenjara dengan kebatilan, pantang bagi saya minta belas kasih kepada kebatilan.

Itulah mereka, segelintir dari sedikit manusia yang memiliki hati kuat yang seolah terbuat dari baja karena iman yang memenuhi setiap ruang di hati mereka.

0 komentar:

Leave a Comment

Back to Home Back to Top Iqbaliano Van de Bard. Theme ligneous by pure-essence.net. Bloggerized by Chica Blogger.